Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung(Studi Perkara No : 0554/PDT.G/2009/PA.TA dan Perkara No : 0845/PDT.G/2010/PA.TA)

  • Hasyim Nawawie Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
##plugins.pubIds.doi.readerDisplayName## https://doi.org/10.32503/diversi.v2i1.140

Abstrak

Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 22 tentang Perkawinan menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan berarti bahwa perkawinan itu dilarang bila tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan dan perkawinannya dapat dibatalkan. Kenyataan dalam masyarakat masih ada orang-orang yang melaksanakan perkawinan padahal ada syarat-syarat yang tidak terpenuhi atau ada laranganlarangan yang telah dilanggar seperti kasus pembatalan perkawinan terjadi di wilayah Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung, yaitu pada perkara Nomor: 0554 /Pdt.G/2009/PA.TA pada perkara ini pemohon yang berkedudukan sebagai istri melaporkan suaminya dengan gugatan pembatalan perkawinan karena
ditengarai bahwa di antara mereka masih ada hubungan darah yaitu termohon adalah adik kandung ayah pemohon atau bulik pemohon yang dilarang untuk menikah secara Sya r'i dan Undang-undang. Lebih jauh dari perkawinan ini sendiri telah lahir seorang anak laki laki dan juga diperoleh harta bersama berupa kendaraan, perabot rumah tangga, dan sejumlah uang. Pengadilan dalam perkara ini telah memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dengan menjatuhkan putusan berupa pembatalan perkawinan. Pada kasus kedua, pembatalan perkawinan terjadi pada perkara Nomor: 0845/Pdt.G/2010/PA.TA. Pada perkara tersebut pemohon yang berprofesi sebagai pembantu pegawai pencatat nikah mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan terhadap pasangan suami istri yang ditengarai melakukan praktek poliandri, di mana pihak istri diketahui masih terikat perkawinan dengan pria lain sebelumnya. Lebih jauh dari perkawinan ini sendiri telah lahir seorang anak perempuan dan juga diperoleh harta bersama berupa sejumlah uang. Setelah memeriksa perkara tersebut pengadilan kemudian memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dengan menjatuhkan putusan berupa
pembatalan perkawinan. Putusan ini membawa akibat hukum terhadap pihak suami dan istri yang perkawinannya dibatalkan meliputi status hukum mereka, status hukum pengasuhan anak, dan status harta yang diperoleh saat perkawinan setelah putusan pengadilan tentang pembatalan perkawinan. Permasalahan yang muncul adalah Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur secara eksplisit tentang status hukum akibat pembatalan perkawinan yang berkaitan tentang status hukum suami dan istri yang perkawinannya dibatalkan, status hukum pengasuhan anak dan status hukum harta yang diperoleh saat perkawinan setelah berlakunya putusan pengadilan tentang pembatalan perkawinan.

Diterbitkan
2018-05-03
##submission.howToCite##
NAWAWIE, Hasyim. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung(Studi Perkara No : 0554/PDT.G/2009/PA.TA dan Perkara No : 0845/PDT.G/2010/PA.TA). DIVERSI : Jurnal Hukum, [S.l.], v. 2, n. 1, p. 259-287, may 2018. ISSN 2614-5936. Tersedia pada: <https://ejournal.uniska-kediri.ac.id/index.php/Diversi/article/view/140>. Tanggal Akses: 28 dec. 2024 doi: https://doi.org/10.32503/diversi.v2i1.140.

##plugins.generic.recommendByAuthor.heading##

##plugins.generic.recommendByAuthor.noMetric##